Subak adalah organisasi
kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam
cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Subak ini biasanya memiliki pura yang
dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani
dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem pengairan
ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali. Subak adalah suatu
masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris-religius, yang
merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah.
Pengertian subak seperti itu pada dasarnya dinyataan dalam peraturan-daerah
pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/l972. Pada perkembanganya ada beberapa
tokoh yang memperluas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam
sistem irigasi subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut
berkarakteristik sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya
menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian, dan teknis irigasi.
Subak sebagai suatu
sistem irigasi merupakan teknologi sepadan yang telah menyatu dengan
sosio-kultural masyarakat setempat. Kesepadan teknologi system subak
ditunjukkan oleh anggota subak tersebut melalui pemahaman terhadap cara
pemanfaatan air irigasi yang berlanadaskan Tri Hita Karana (THK) yang menyatu
dengan cara membuat bangunan dan jaringan fisik irigasi, cara mengoperasikan,
kordinasi pelaksanaan operasi dan pemeliharaan yang dilakukan oleh pekaseh (ketua
subak), bentuk kelembagaan, dan informasi untuk pengelolaannya.
Sistem subak mampu melakukan pengelolaan irigasi dengan dasar-dasar harmoni dan
kebersamaan sesuai dengan prinsip konsep THK, dan dengan dasar itu sistem subak
mampu mengantisipasi kemungkinan kekurangan air (khususnya pada musim kemarau),
dengan mengelola pelaksanaan pola tanam sesuai dengan peluang keberhasilannya.
Selanjutnya, sistem subak sebagai teknologi sepadan, pada dasarnya memiliki
peluang untuk ditransformasi, sejauh nilai-nilai kesepadanan teknologinya
dipenuhi.
Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan
adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam
padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini
sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih
diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya
hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti
kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air.
Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah
efektif untuk menanggulangi kendala ini.
Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan J. Stephen Lansing telah
menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia
mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian, yang
biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan
petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak.
Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.
Dalam pengelolaan Irigasi Subak, masyarakat Bali mengusung konsep Tri Hita
Karana (THK) yang memiliki Hubungan timbale balik antara Parahyangan yakni
Hubungan yang harmonis antara anggota atau karma subak dengan Tuhan Yang Maha
Esa, Pawongan Hubungan yang harmonis antara anggota Subaknya dimana yang
disebut dengan Krama Subak, Palemahan : Hubungan yang harmonis antara anggota
Subak dengan lingkungan atau wilayah irigasi Subaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar